Baru-baru ini Indonesia meluluskan sebuah undang-undang kontroversial yang pada dasarnya membuat pornografi ilegal. Dipimpin oleh kelompok Islam, dapat dikatakan bahwa legislasi ini disahkan di antara berbagai macam suara keberatan dari beragam kelompok etnis, organisasi-organisasi perempuan, dan agama-agama lain. Seperti juga yang telah terjadi di berbagai tempat, waktu, dan oleh pihak lain, tujuan yang dimaksud baik, namun harapan-harapan yang ada tidaklah realistis, di mana akhirnya pun mungkin akan terbukti merugikan dan tidak diinginkan.

Masalah pertama dan terjelas adalah bagaimana mendefinisikan sesuatu sebagai pornografi. Kita dapat membandingkan bagaimana pornografi telah mempengaruhi seluruh masyarakat di seluruh dunia, ketika materi-materi tersebut berubah dari semula ilegal dan relatif jarang menjadi legal. Atau, sebaliknya, kita dapat menginvestigasi apa yang terjadi di saat sebuah masyarakat berubah dari kepemilikan materi bernuansa seksual eksplisit dengan jumlah relatif banyak menjadi ke jumlah yang relatif lebih sedikit.

Penelitian paling terkenal di bidang ini dilakukan oleh Berl Kutchinsky dari Denmark, yang mempelajari kasus di beberapa negara. Negara seperti Denmark, Swedia, Jerman Barat, dan AS, empat negara di mana terdapat banyak sekali data pada saat itu, Kutchinsky menunjukkan bahwa pada periode 1964-1984, ketika terjadi peningkatan ketersediaan materi-materi pornografi, tingkat kejahatan pemerkosaan di negara-negara ini malah menurun atau tidak berubah. Negara-negara ini melegalisasi atau tidak mengkriminalkan pornografi pada 1969, 1970, dan 1973. Di ketiga negara tersebut, tingkat kejahatan kekerasan nonseksual dan kejahatan seksual nonkekerasan (contoh: mengintip, menunjukkan organ seksual) pada dasarnya juga menurun. Hanya di AS, selama periode 1970 dan 1980-an, meningkatnya ketersediaan pornografi diikuti kejahatan seksual yang meningkat pula. Namun, Kutchinsky juga mencatat bahwa pada saat itu terjadi perubahan cara pencatatan kasus pemerkosaan di AS sehingga hal tersebut bisa pula mempengaruhi peningkatan angka kejahatan seksual.

Untuk membandingkan jika penemuan-penemuan tersebut juga terlihat pada masyarakat Asia, sebuah studi pun dilakukan di Jepang (Diamond & Uchiyama, 1999). Sejak dekade 1970, materi-materi bernuansa seksual eksplisit yang diperuntukkan bagi segala jenis fantasi dan minat erotisme terus tersedia di Jepang. Pada saat studi dilakukan, seluruh materi ini dapat diakses oleh siapa pun, tanpa pengecualian usia. Berdasarkan catatan kepolisian, terlihat secara jelas bahwa insiden pemerkosaan telah menurun dengan mantap selama beberapa dekade terakhir. Karakteristik pemerkosaan pun berubah secara nyata. Di awal periode observasi, banyak kasus pemerkosaan dilakukan oleh gang (lebih dari satu orang pemerkosa), sehingga jumlah pemerkosa melampaui jumlah kasus pemerkosaan yang dilaporkan. Kejahatan seperti ini sudah semakin jarang terjadi. Jumlah pemerkosaan yang dilakukan oleh remaja pun secara nyata menurun. Dalam periode yang sama, insiden penyerangan seksual pun dengan jelas menurun. Namun, jumlah insiden pelaporan serangan seksual melambung kembali. Perlu diperhatikan bahwa selama periode ini, menurut catatan-catatan Akademi Kepolisian Nasional Jepang, tingkat sanksi hukum atas pemerkosaan meningkat jelas dari 85 persen pada 1972 menjadi lebih dari 95 persen pada dekade 1990-an.

Penelitian-penelitian di Kroasia (Landripet, Stulhofer, & Diamond, 2006) dan di Shanghai, RRC (Diamond, 1999), juga menunjukkan penurunan berarti kasus pemerkosaan ketika ketersediaan materi pornografi meningkat. Beberapa penelitian di Polandia (Diamond, 2008), Finlandia (Diamond & Kotula, 2008), Republik Cekoslovakia (Diamond, Weiss, & Jozifkova, 2008) yang belum diterbitkan bisa menambah data atas kemiripan hasil penemuan, di mana pada saat ketersediaan pornografi meningkat justru insiden kejahatan seksual menurun. Sejauh ini, setiap negara yang diteliti menunjukkan adanya kesamaan: di mana materi pornografi tersedia, kejahatan seksual menurun dan bukan meningkat. Persamaan ini diduga akan terjadi pula di Indonesia. Dan jika hasil-hasil lain yang ditemukan di negara-negara lain juga benar bagi Indonesia, membuat materi pornografi menjadi ilegal mungkin hanya akan meningkatkan tingkat kejahatan seksual.

Pada 2006, Anthony D'Amato, seorang profesor hukum, menulis sebuah artikel berjudul Pornografi Naik, Pemerkosaan Turun (Porn Up, Rape Down), yang pada dasarnya menegaskan kembali bahwa tren yang telah dimulai beberapa tahun sebelumnya terus berlanjut, terutama di Amerika Serikat. Profesor D'Amato menyingkat laporannya berikut ini: Insiden pemerkosaan di Amerika Serikat telah menurun sebanyak 85 persen selama 25 tahun terakhir, di mana para remaja dan orang dewasa memiliki akses bebas terhadap pornografi. Komisi-komisi Nixon dan Reagan berusaha menunjukkan bahwa keterbukaan akan materi pornografi berujung pada kekerasan sosial. Sebaliknya yang terjadi: pornografi telah menurunkan tingkat kekerasan sosial.

Satu-satunya fitur standar masyarakat yang dapat ditemukan dan masih berlaku sampai sekarang adalah tidak adanya toleransi bagi materi-materi yang melibatkan anak-anak atau mereka yang di bawah umur baik sebagai aktor, partisipan, maupun penonton. Namun, perlu pula disinggung bahwa belum terlihat adanya hubungan sebab-akibat antara menonton pornografi anak dan perbuatan kekerasan terhadap anak.

Beragamnya data dari berbagai tipe masyarakat, budaya, dan negara dapat membekali seseorang dengan lebih baik lagi dalam mengevaluasi paham yang mengatakan bahwa banyaknya materi pornografi eksplisit akan dengan pasti meningkatkan kegiatan seksual ilegal dan pemerkosaan. Dengan cara yang sama, seseorang sekarang dapat mempertimbangkan kembali dengan lebih baik ide yang mengatakan bahwa ada "sebuah hubungan sebab-akibat antara tindakan-tindakan kekerasan seksual yang anti sosial dan... tindakan-tindakan kekerasan seksual yang melanggar hukum".

Sesungguhnya, data yang tersedia menunjukkan bahwa pemahaman tersebut adalah mitos belaka, dan sebenarnya yang ada adalah hubungan sebab-akibat terbalik antara peningkatan pornografi dan kejahatan-kejahatan seks.


Back to top